A.
LATAR BELAKANG
Peringatan dan
perbaikan terhadap anak didik bukanlah tindakan balas dendam yang didasari
amarah, melainkan suatu metode pendidikan yang didasari atas rasa cinta dan
kasih sayang. Ibnu Jazzar al-Qairawani menjelaskan tentang perbaikan anak sejak
dini, “Sesungguhnya masa kanak-kanak adalah masa terbaik bagi pendidikan.
Apabila kita dapati sebagian anak mudah dibina dan sebagian lain sulit dibina,
sebagian giat belajar dan sebagian lain sangat malas belajar, sebagian mereka belajar
untuk maju dan sebagian lain belajar hanya untuk terhindar dari hukuman”.
Sebenarnya sifat-sifat
buruk yang timbul dalam diri anak di atas bukanlah lahir dan fitrah mereka.
Sifat-sifat tersebut terutama timbul karena kurangnya peringatan sejak dini
dari orangtua dan para pendidik. Semakin dewasa usia anak, semakin sulit pula
baginya untuk meninggalkan sifat-sifat buruk. Banyak sekali orang dewasa yang
menyadari keburukan sifat-sifatnya, tapi tidak mampu mengubahnya. Karena
sifat-sifat buruk itu sudah menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Maka
berbahagialah para pendidik yang selalu memperingati dan mencegah anak didiknya
dari sifat-sifat buruk sejak dini, karena dengan demikian, mereka telah
menyiapkan dasar yang kuat bagi kehidupan anak didiknya di masa mendatang.
Merupakan kesalahan
besar apabila menyepelekan kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan anak,
karena kebakaran yang besar terjadi sekalipun berawal dari api yang kecil. Maka
bila pendidik mendapati anak didiknya melakukan kesalahan, seperti berkata
kasar misalnya, hendaknya langsung memperingatinya.
Setelah mengetahui
arti penting peringatan dan perbaikan bagi anak, maka para orangtua dan
pendidik harus mengerti metode yang diajarkan Rasulullah SAW dalam peringatan
dan perbaikan anak. Dalam dunia pendidikan, metode ini disebut dengan metode
ganjaran (reward) dan hukuman (punishment). Dengan metode tersebut diharapkan
agar anak didik dapat termotivasi untuk melakukan perbuatan positif dan
progresif.
Dalam topik ini akan
dibahas tentang pengertian hukuman dan ganjaran, pendapat beberapa pakar
pendidikan tentang pelaksanaan hukuman dan ganjaran serta penerapannya dalam
pendidikan. Selanjutnya dibahas pula tentang ganjaran dalam bentuk hadiah
sesuai dengan praktek Rasulullah SAW dalam menerapkan hukuman dan ganjaran.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah ganjaran itu?
2. Bagaimana peran ganjaran sebagai motivasi dalam pendidikan?
3. Apakah hukuman itu?
4. Bagaimana peran hukuman sebagai motivasi dan pendidikan?
1. Metode
Pemberian Ganjaran (Reward)
a.
Pengertian Ganjaran
(Reward)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa ganjaran adalah
hadiah (sebagai pembalas jasa), dan hukuman balasan.[1]
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa ganjaran dalam Bahasa Indonesia
bisa dipakai untuk balasan yang baik maupun balasan yang buruk.
Sementara itu, dalam Bahasa Arab ganjaran diistilahkan dengan tsawab.
Kata tsawab bisa juga berarti pahala upah dan balasan. Kata tsawab banyak
ditemukan dalam al-Quran, khususnya ketika kitab suci ini membicarakan tentang
apa yang akan diterima oleh seseorang, baik di dunia maupun di akhirat dari
amal perbuatannya. Berdasarkan penelitian dari ayat-ayat tersebut, kata tsawab
selalu diterjemahkan kepada balasan yang baik. Sebagaimana salah satu
diantaranya dapat dilihat dalam firman Allah SWT pada surat Ali Imran: 145,
148, an-Nisa: 134. Dari ketiga ayat di atas, kata tsawab identik dengan
ganjaran yang baik. Seiring dengan hal ini, makna yang dimaksud dengan kata
tsawab dalam kaitannya dengan pendidikan Islam adalah pemberian ganjaran yang
baik terhadap perilaku baik dari anak didik.[2]
Dalam pembahasannya yang lebih luas, pengertian istilah ganjaran dapat
dilihat sebagai berikut:
a)
Ganjaran adalah alat pendidikan
preventif dan represif yang menyenangkan dan bisa menjadi pendorong atau
motivator belajar bagi murid.
b)
Ganjaran adalah hadiah terhadap
perilaku baik dari anak didik dalam proses pendidikan. Muhammad bin Jamil Zaim
menyatakan bahwa ganjaran merupakan asal dan selamanya harus didahulukan,
karena terkadang ganjaran tersebut lebih baik pengaruhnya dalam usaha perbaikan
daripada celaan atau sesuatu yang menyakitkan hati.[3]
Sedikit berbeda dengan metode targhib, tsawab lebih bersifat materi,
sementara targhib adalah harapan serta janji yang menyenangkan yang diberikan
terhadap anak didik dan merupakan kenikmatan karena mendapat penghargaan.
Ganjaran dalam konteks
ini adalah memberikan sesuatu yang menyenangkan (penghargaan) sebagai hadiah
bagi peserta didik yang berprestasi, baik dalam belajar maupun dalam sikap
perilaku. Melalui ganjaran diharapkan hasil yang akan dicapai seorang peserta
didik dapat dipertahankan dan meningkat serta dapat menjadi motivasi bagi
peserta didik lainnya untuk mencapai target pendidikan secara maksimal.[4]
Ganjaran dapat
dilakukan oleh guru dengan bermacam-macam cara, antara lain :
a) Guru mengangguk-angguk kepala tanda senang dan membiarkan suatu
jawaban yang diberikan oleh seorang peserta didik.
b) Guru memberi kata-kata yang menggembirakan (pujian).
c) Guru memberikan benda-benda yang menyenangkan dan berguna bagi
peserta didik dalam belajar.
Hasan Langgulung
memakai kata tsawab untuk menggantikan kata ganjaran. Kata tsawab digunakan
pada berbagai ayat dalam al-Qur’an yang berarti sesuatu yang diperoleh
seseorang dalam hidup ini atau di akherat karena telah mengerjakan amal
kebajikan (pahala). Menurutnya, ganjaran diberikan untuk mengekalkan atau
menguatkan tingkah laku yang diingini. Dalam psikologi pendidikan disebut
dengan reinforcement.[5]
Dalam konteks ini, ganjaran dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, antara
lain :
a) Bentuk materil, seperti pemberian hadiah atau bingkisan.
b) Bentuk immateri, seperti melalui tindakan menepuk bahu peserta
didik atau melalui ucapan.
Guru yang tidak
memberikan ganjaran kepada peserta didik yang telah memperoleh prestasi sebagai
hasil belajar, maka dapat diartikan secara implisit bahwa guru tersebut belum
memanfaatkan alat lunak pendidikan secara optimal. Menurut Hasan Langgulung,
guru yang tidak memberikan ganjaran maupun hukuman dalam pelaksanaan pendidikan
peserta didik, merupakan suatu kekeliruan dalam memahami pentingnya alat
tersebut. Namun harus diingat, ganjaran tidak harus bersifat materi. Penggunaan
ganjaran harus ditujukan bahwa ganjaran adalah alat bukan tujuan.[6]
Dalam menggunakan
ganjaran sebagai alat pendidikan, perlu diperhatikan kesan yang ditimbulkan
pada diri peserta didik. Dalam artian apakah pemberian ganjaran tersebut
menimbulkan perasaan senang pada diri peserta didik atau tidak, semua itu
tergantung kepada tingkat prestise seorang guru. Seperti halnya kelebihan
ganjaran di hari akherat langsung datang dari Allah. Oleh karena itu, guru yang
ingin ganjarannya berkesan maka ia harus dihormati oleh peserta didiknya. Dalam
al-Qur’an pribadi seorang guru sangat dihormati, sebab ia selalu dihubungkan dengan
Allah dan malaikat-malaikatNya. Ganjaran yang diberikan oleh orang yang seperti
itu lebih mulia dan berkesan daripada ganjaran yang diberikan oleh orang yang
memiliki prestise lebih rendah. Oleh karena itu, guru harus memiliki
sifat-sifat alim jika menginginkan ganjaran yang diberikannya lebih berkesan.
Dalam al-Qur’an surat
al-Kahfi ayat 39 disebutkan bahwa seorang sahabat mengingatkan seseorang yang
memiliki dua kebun agar mengucapkan masya Allah tatkala memasuki kebunnya.
“Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu
"maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah
semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya
kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (QS. Al
Kahfi : 39)[7]
Kalau perkataan tersebut diucapkan sebagai ganjaran terhadap kekuasaan
Allah yang tidak memerlukan pujian, tentu lebih perlu lagi mengucapkannya
kepada keberhasilan yang dicapai manusia yang biasanya suka dipuji. Pemberian
ganjaran sebagai salah satu alat lunak pendidikan merupakan hal yang sangat
penting bagi keberhasilan peserta didik dalam proses pembelajaran. Ketika guru
tidak memberikan reinforcement atau ganjaran kepada peserta didik yang telah
memperoleh prestasi sebagai hasil belajar dapat diartikan secara implisit bahwa
guru belum memanfaatkan alat lunak pendidikan secara optimal. Jika guru tidak
memberikan ganjaran maka sama artinya dengan memberikan hukuman (punishment).
b.
Cara Mengaplikasikan Ganjaran
Berbagai macam cara
yang dapat dilakukan dalam memberikan ganjaran antara lain:
a. Ekspresi Verbal/Pujian yang Indah
Pujian
ini diberikan agar anak lebih bersemangat belajar. Penggunaan teknik ini
dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika memuji cucunya, al-Hasan dan al-Husein
yang menunggangi punggungnya seraya beliau berkata, “Sebaik-baik unta adalah
unta kalian, dan sebaik-baik penunggang adalah kalian.” (H.R. Ath-Thabrani dari
Jabir ra). Oleh karenanya guru diharapkan mengikuti makna-makna dalam rangka
memberi ganjaran atau pujian yang akan bermanfaat dan lebih menarik perhatian.
Ganjaran-ganjaran yang diberikan dengan mudah terhadap suatu perbuatan akan
menghilangkan akibat-akibat yang tidak baik.[8]
b. Imbalan Materi/Hadiah
Tidak
sedikit anak-anak yang termotivasi dengan pemberian hadiah. Cara ini bukan
hanya menunjukkan perasaan cinta, tetapi juga dapat menarik cinta dari si anak,
terutama apabila hal itu tidak diduga. Rasulullah telah mengajarkan hal
tersebut dengan mengatakan, “Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian
saling mencintai.” Beliau tidak mengatkan, “Saling memberi hadiahlah kalian,
niscaya kalian akan saling mencintai.” Tidak dengan kata akan. Jadi hasilnya
muncul secara cepat dalam menarik perasaan cinta. Setiap orang tua mengetahui
apa yang disukai dan diharapkan oleh anaknya, sehingga hadiah yang diberikan
dapat berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan keadaan anaknya. Muhaimin dan Abd.
Majid menyebutkan bahwa ganjaran dapat diberikan kepada anak didik dengan
syarat dalam benda yang diberikan terdapat relevansi dengan kebutuhan
pendidikan, misalnya untuk anak didik yang ranking pertama diberikan hadiah
bebas SPP, dsb.[9]
c. Menyayanginya
Di
antara perasaan-perasaan mulia yang Allah titipkan pada hati kedua orangtua
adalah perasaan sayang, ramah, dan lemah lembut terhadapnya. la merupakan
perasaan yang mulia yang memiliki dampak yang paling utama dan pengaruh yang
sangai besar dalam mendidik, menyiapkan, dan membentuk anak. Hati yang tidak
memiliki kasih sayang akan memiliki kekerasan dan kekasaran yang tercela.
Diketahui bahwa sifat-sifat yang buruk ini akan menimbulkan reaksi pada
anak-anak berupa kebencian mereka terhadap ayah dan ibunya. Karena itu, dalam
hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan at-Tirmidzi dan Amr bin Syu'aib,
Rasulullah saw mengatakan, “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak
menyayangi anak kecil.” Jadi, kasih sayang itu harus diberikan kepada
anak-anak. Anak tidak bolch dihukum ketika melakukan kesalahan seperti tindakan
terhadap orang dewasa. Karena, orang dewasa dapat mcmbedakan antara yang benar
dengan yang salah. Sedangkan anak tidak dcmikian. Jadi, yang menjadi prinsip
ketika berinteraksi dengan anak. adalah kelembutan, kasih sayang, dan keramahan.[10]
d. Memandang dan Tersenyum Kepadanya
Hal
ini terkadang dianggap sepele, padahal ia menunjukkan cinta dan kasih sayang,
sebagaimana juga dapat menunjukkan hukuman apabila pandangan yang diberikan
adalah pandangan yang tajam disertai muka yang masam. Karena itu, pandangan
yang lembut disertai dengan senyuman dapat menambah kecintaan anak terhadap
orang tua atau guru. Pandangan sering pula menjadi sebab kebencian anak
terhadap orangtuanya apabila mereka bermuka masam terhadapnya tanpa sebab yang
jelas dan menyangkanya sebagai kewibawaan.
Senyuman merupakan sedekah sebagaimana
dikatakan oleh Nabi SAW, “Tersenyumnya engkau terhadap saudaramu adalah
sedekah.” Senyuman sama sekali bukan suatu beban vang memberatkannya, tetapi ia
mempunyai pengaruh yang sangat kuat, Ketika berbicara dengan anak-anak maupun
dengan murid-murid hendaknya seorang ayah atau seorang guru mcmbagi
pandangannya secara merata kepada mereka semua, sehingga mereka mendengarkannya
dengan perasaan cinta dan kasih sayang serta tidak membenci pembicaraannya. Dan
masih banyak lagi cara-cara lain yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, seperti
menyambutnya dengan hangat, memberikan dorongan ketika bertanya dan menjawab,
menerima pendapat-pendapat dan saran-sarannya, bersifat adil dan lain
sebagainya.[11]
c.
Kelebihan dan Kekurangan
Sebagaimana
pendekatan-pendekatan pendidikan lainnya, pendekatan ganjaran juga tidak bisa
terlepas dari kelebihan dan kekuranagn. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan
bahwa pendekatan ganjaran memiliki banyak kelebihan yang secara umum dapat
disebutkan sebagai berikut:
a. Memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap jiwa anak didik
untuk melakukan perbuatan yang positif dan bersikap progresif.
b. Dapat menjadi pendorong bagi anak-anak didik lainnya untuk
mengikuti anak yang telah memperoleh pujian dari gurunya; baik dalam tingkah
laku, sopan santun ataupun semangat dan motivasinya dalam berbuat yang lebih
baik. Proses ini sangat besar kontribusinya dalam memperlancar pencapaian
tujuan pendidikan.
Di samping mempunyai
kelebihan, pendekatan ganjaran juga memiliki kelemahan antara lain:
a. Dapat menimbulkan dampak negatif apabila guru melakukannya secara
berlebihan, sehingga mungkin bisa mengakibatkan murid menjadi merasa bahwa
dirinya lebih tinggi dari teman-temannya. Sikap-sikap negatif yang mungkin
timbul ini dijelaskan dalam sebuah hadis Nabi SAW bahwa beliau mendengar
seorang laki-laki memberi hadiah kepada laki-laki lain, hadiahnya itu
berlebih-lebihan. Berdasarkan kejadian itu, maka Nabi SAW bersabda: “Engkau
telah berbuat kerusakan di belakang manusia.” (HR. Imam Bukhori).
Praktek-praktek lain yang akan membawa akibat negatif juga dianggap tidak baik.
Oleh karena itu, guru-guru atau para pendidik diharapkan dapat meninggalkan
dari konskuensi yang berat hanya karena pemberian ganjaran kepada anak didiknya.
b. Umumnya ganjaran membutuhkan alat tertentu dan membutuhkan
biaya, dll.
2. Metode Pemberian
Hukuman (Punishment)
a.
Pengertian Hukuman
Hukuman dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan:
1)
Siksa dan sebagainya yang
dikenakan kepada orang-orang yang melanggar undang-undang, dsb.
2)
Keputusan yang dijatuhkan oleh
hakim
3)
Hasil atau akibat menghukum
Dalam Bahasa Arab hukuman diistilahkan dengan ‘iqab, jaza’ dan ‘uqubah.
Kata ‘iqab bisa juga berarti balasan. Al-Qur’an memakai kata ‘iqab sebanyak 20
kali, dalam 11 surat. Bila memperhatikan masing-masing ayat tersebut terlihat
bahwa kata ‘iqab mayoritasnya didahului oleh kata syadiid (yang paling, amat,
dan sangat), dan kesemuanya menunjukkan arti keburukan dan azab yang
menyedihkan, seperti firman Allah SWT dalam surat Ali Imran: 11 dan al-Anfal:
13.
Dari kedua ayat di atas dapat dipahami bahwa kata ‘iqab ditujukan kepada
balasan dosa sebagai akibat dari perbuatan jahat manusia. Dalam hubungannya
dengan pendidikan Islam, ‘iqab berarti:
1)
Alat pendidikan preventif dan
refresif yang paling tidak menyenangkan.
2)
Imbalan dari perbuatan yang tidak
baik dari peserta didik.
Istilah ‘iqab sedikit berbeda dengan tarhib, dimana ‘iqab telah
berbentuk aktivitas dalam memberikan hukuman seperti memukul, menampar,
menonjok, dll. Sementara tarhib adalah berupa ancaman pada anak didik bila ia
melakukan suatu tindakan yang menyalahi aturan.
Berkenaan dengan akibat yang tidak baik yang telah diperbuat oleh anak
didik, maka pendidik harus memberi nasihat atau peringatan yang akan membantu
pribadi anak didik dalam mengevaluasi tingkah lakunya sendiri. Nasihat atau
peringatan (nadzir) itu berasal dari Nabi SAW, misalnya dalam surat al-A’raf
(7): 184, dan Hud (11): 12. Rasulullah SAW sendiri dalam banyak hal telah
banyak mendapatkan teguran. Ini berarti, beliau dituntut agar tidak mengulangi
perbuatan-perbuatan tertentu. Hal ini juga berlaku bagi para pelajar agar
mempunyai respons positif terhadap teguran dan nasihat guru mengenai apa yang
tidak boleh diperbuatnya. Peringatan dan teguran itu harus dipadukan dengan
penjelasan alasan yang masuk akal dan indikasi alternatif-alternatif yang bisa
diterima.
b.
Cara Mengaplikasikan Hukuman
Prinsip pokok dalam mengaplikasikan pemberian hukuman, yaitu bahwa
hukuman adalah jalan yang terakhir dan harus dilakukan secarta terbatas dan
tidak menyakiti anak didik. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk
menyadarkan peserta didik dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan.
Pemberian hukuman menurut Najib Khalid al-Amir juga memiliki beberapa
teori diantaranya dengan cara teguran langsung, melalui sindiran, melalui
celaan, dan melalui pukulan. Oleh karena itu agar pendekatan ini tidak
terjalankan dengan leluasa, maka setiap pendidik hendaknya memperhatikan
syarat-syarat dalam pemberian hukuman yaitu:
1)
Pemberian hukuman harus tetap
dalam jalinan cinta, dan kasih sayang.
2)
Harus didasarkan pada alasan keharusan.
3)
Harus menimbulkan kesan di hati
anak.
4)
Harus menimbulkan keinsyafan dan
penyesalan kepada anak didik.
5)
Diikuti dengan pemberian maaf dan
harapan serta kepercayaan.
Seiring dengan itu, Muhaimin dan Abd. Majid menambahkan bahwa hukuman
yang diberikan haruslah:
a)
Mengandung makna edukasi.
b)
Merupakan jalan atau solusi
terakhir dari beberapa pendekatan dan metode yang ada.
c)
Diberikan setelah anak didik
mencapai usia 10 tahun. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
مُرُوْا
أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْاهُمْ
وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوْا فِى اْلمَضَاجِعِ (رواه ابو داود)
Artinya: “Suruhlah anak-anakmu untuk
mengerjakan sholat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah bila ia
membangkang (meninggalkan shalat) jika mereka telah berusia sepuluh tahun serta
pisahkan tempat tidurnya.” (HR. Abu Daud)
Terdapat beberapa cara
digunakan Rasulullah SAW dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi pada
anak, diantaranya:
a)
Melalui Teguran Langsung
Umar bin Abi Salmah r.a. berkata, “Dulu aku menjadi
pembantu di rumah Rasulullah SAW. Ketika makan, biasa-nya aku mengulurkan
tanganku ke berbagai penjuru. Melihat itu bcliau berkata, 'Hai ghulam, bacalah
basmallah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang ada di dekatmu.”
Riwayat di atas menyiratkan beberapa nilai tarbawiyah yang
dapat diterapkan dalam mendidik anak, yaitu:
1) Rasulullah SAW senantiasa menyempatkan untuk makan bersama
anak-anak. Cara tersebut akan mempererat keterikatan batin antara seorang
pendidik dengan anak didiknya. Dengan begitu, dapat diluruskan kembali
berbagaii kekeliruan yang mereka lakukan melalui dialog terbuka dan diskusi.
Alangkah baiknya jika ibu dan bapak berkumpul dengan anak-anaknya ketika makan
bersama, sehingga mereka merasakan pentingnya peran kedua orang tua. Hal ini
juga dapat mempermudah meresapnya segala nasihat orang tua kepada anak-anaknya,
baik itu nasihat dalam hal perilaku, keimanan, atau pendidikan.
2) Waktu yang beliau pilih pun sangat tepat. Beliau segera menegur
ketika kekeliruan Umar bin Abi Salmah itu terjadi berulang-ulang sebelum
kebiasaan tersebut menjadi kebiasaan sehari-han. Jika dibiarkan, kekeliruan
akan sulit diluruskan. Kalaupun dapat, kita membutuhkan waktu dan tenaga yang
lebih banyak lagi. Karenanya, mengacu pada metode Rasulullah SAW di atas, maka
kebiasaan jelek anak didik harus sesegera mungkin diluruskan. Model pendidikan
ini wajib diambil sari patinya oleh para orang tua dan pendidik zaman sekarang.
3) Sebagai seorang pendidik, Rasulullah SAW memanggil anak dengan
panggilan yang menyenangkan, seperti “wahai ghulam”. Abu Salmah pun menyenangi
panggilan tersebut. Cara tersebut cukup efektif menarik perhatian anak sehingga
mereka tidak kesulitan menerima nasihat. Ironisnya sekarang ini, jika melihat
kekeliruan anak-anaknya, para orang tua marah besar sambil memanggil dengan
sejelek-jelek nama.
b)
Melalui Sindiran
Rasulullah SAW.
bersabda, “Apa keinginan kaum yang mengatakan begini dan begitu? Sesungguhnya
aku shalat dan tidur, aku berpuasa dan berbuka, dan aku pun menikahi wanita.
Maka, barangsiapa yang tak senang dengan sunnahku berarti dia bukan
golonganku.” (Lihat Shahihul Jami Ash Shagir, Juz 5, Hadits No. 5448). Sabda
tersebut menyiratkan beberapa hal yang dapat dijadikan acuan dalam tarbiyah:
1) Mengatasi kesalahan anak didik melalui sindiran dapat menjaga
wibawa anak di mata teman-temannya, sehingga dia tidak rendah diri. Hal itu
mengisyaratkan bahwa upaya meluruskan kesalahan anak didik jangan dilakukan
dengan cara menjatuhkan mentalnya karena itu dapat menimbulkan berbagai
kelainan mental.
2) Ketika pendidik memperbaiki kesalahan anak didik melalui
sindiran, diharapkan tali kasih sayang dan rasa percaya diri akan membentang di
antara mereka. Pendidik merasakan ketenangan dan kerelaan hati tatkala
meluruskan kesalahan sang anak didik, tanpa harus menyebutkan kesalahan anak
tersebut di hadapan orang banyak. Dengan begitu, dia memiliki kesiapan pikiran
dan konsentrasi dalam meluruskan kekeliruan anak didiknya
c)
Melalui Pemukulan
Cara mengatasi kekeliruan yang cukup besar di antaranya melalui
pemukulan yang tidak berbekas. Namun, anehnya, saat ini banyak orang yang
menentang teori tersebut dengan dalih, teori semacam itu tidak
berperikemanusiaan, atau merupakan teori kuno. Padahal, Allah SWT, Sang
Pencipta alam raya, manusia, dan jin, Maha Mengetahui akan kemaslahatan urusan
dunia dan akhirat. Namun, "memukul" jangan diartikan sebagai tindakan
pukul-memukul. Dalam cara itu terdapat kode etik pendidikan secara syar'i yang
melindunginya, diantaranya:
1)
Seorang pendidik tidak boleh
memukul kecuali jika seluruh sarana peringatan dan ancaman tidak mempan lagi.
2)
Tidak boleh memukul dalam keadaan
sangat marah karena dikhawatirkan membahayakan diri anak. Hal ini mengacu pada
sabda Rasulullah SAW, "Jangan marah!" (HR Bukhari)
3)
Pemukulan tidak boleh dilakukan
pada tempat-tempat yang berbahaya, seperti kepala, dada, perut, atau muka. Hal
ini mengacu pada sabda Rasulullah SAW., "Jika salah seorang dari kamu
memukul, maka jauhilah muka." (HR Abu Daud)
4)
Disarankan agar pukulan tidak
terlalu keras dan tidak menyakitkan. Sasarannya adalah kedua tangan atau kedua
kaki dengan alat pukul yang lunak (tidak keras). Selain itu, hendaklah
pukulan-pukulan itu dimulai dari hitungan satu sampai tiga jika si anak belum
baligh. Tetapi, jika sudah menginjak masa remaja, sementara sang pendidik
melihat bahwa pukulannya tadi tidak membuat jera si anak, dia boleh menambahnya
lagi sampai hitungan kesepuluh. Hal itu mengacu pada sabda Rasulullah SAW,
"Tidak mendera di atas sepuluh deraan kecuali dalam hukuman pelanggaran
maksiat (hudud)." (HR Bukhari)
5)
Jika kesalahan itu baru pertama
kali dilakukan, si anak hams diberi kesempatan sampai bertaubat dari
perbuatannya.
6)
Hukuman harus dilakukan oleh sang
pendidik sendiri, lidak boleh diwakilkan kepada orang lain, agar terhindar dari
kedengkian dan perselisihan.
7)
Seorang pendidik harus dapat
menepati waktu yang sudah ditetapkan untuk mulai memukul, yaitu langsung kctika
anak melakukan kesalahan. Tidak dibenarkan, apabila seorang pendidik memukul
orang bersalah setelah berselang dua hari dari perbuatan salahnya.
Keterlambatan pemukulan sampai hari kedua ini hampir tidak ada gunanya sama
sekali.
8)
Jika sang pendidik melihat bahwa
dengan cara memukul masih belum membuahkan hasil yang diinginkan, dia lidak
boleh meneruskannya dan harus mencari jalan pemecahan yang lain.
Para pendidik Muslim
telah maklum bahwa hukuman anak-anak di sekolah tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Al-Qabisi dalam bukunya Al-Mufashsholah lil Ahwalil Muta’allimin
wa Ahkamil Mu’allimin wal Muta’allimin, mengatakan bahwa guru atau pendidik
harus mempunyai izin dari orang tua atau wali murid sebelum menghukumnya dengan
lebih dari tiga kali pukulan. Dalam kasus-kasus tertentu membolehkan hukuman
lebih dari sepuluh kali pukulan yang terhitung sebagai hukuman maksimal. Ibn
Hajar al-Haitami (w1567 M), dalam risalahnya, Tahrirul Maqal, bahwa guru atau
pendidik tidak berhak menjatuhkan hukuman badaniah kepada anak-anak didiknya,
kecuali mendapatkan izin dari orang tua walinya. Al-Haitami tidak
memperkenankan para pendidik untuk menjatuhkan hukuman badaniah pertama, dengan
tiga kali pukulan sebagaimana al-Qabisi, tanpa ada izin orang tua wali.
Dalam keterangan di
atas disebutkan hadis yang menerangkan tentang perintah shalat bagi anak mulai
ia berumur tujuh tahun, dan memukulnya bila meninggalkannya setelah berumur
sepuluh tahun. Maka pada umur-umur sebelum itu, orangtua harus pintar dan sabar
dalam mendidik anak.
Tindakan memukul anak
sebelum ia berumur sepuluh tahun dapat berakibat buruk bagi keadaan fisik
maupun mentalitasnya. Al-Qabisi (w 1012 M) dan Ibn Sahnun (Muhammad bin Abdus
Salam bin Said) mengatakan bahwa pendidik tidak boleh menjatuhkan hukuman
ketika marah sebab mungkin hanya karena kehendak hawa nafsunya yang barangkali
membelakangi fakta-fakta yang sesungguhnya. Prinsip lain yang mendapatkan
tekanan adalah pendidik tidak boleh manjatuhkan hukuman atas dasar
alasan-alasan pribadi. Prinsip ini sesuai dengan al-Qur’an surat Ali Imran (3):
134. Sementara itu, dalam keadaan tidak marah, orang akan mampu melaksanakan
hukuman dengan sebaik-baiknya kepada orang lain. Maka hal ini menjadi alasan
yang lebih kuat dalam rangka mendidik anak-anak. Sedangkan Ibnu Khaldun dalam
Muqaddimahnya menjelaskan bahwa hukuman yang diberikan kepada anak kecil
mungkin akan berakibat anak tersebut akan belajar menipu dan berdusta. Anak
tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh kali. Selain itu pun, cara ini hanya
boleh dipakai dalam keadaan mendesak. Karena terlalu seringnya memukul anak akan
menurunkan wibawa hukuman tersebut di mata anak, sehingga anak tidak takut lagi
dipukul, karena sudah terbiasa. Akibat buruk lainnya adalah gangguan yang dapat
terjadi pada fisik anak.
c.
Kelebihan dan Kekurangan
Pendekatan hukuman dinilai memiliki kelebihan apabila dijalankan dengan
benar, yaitu:
1)
Hukuman akan menjadikan
perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid.
2)
Murid tidak lagi melakukan
kesalahan yang sama
3)
Merasakan akibat perbuatannya
sehingga ia akan menghormati dirinya.
Sementara kekurangannya adalah apabila hukuman yang diberikan tidak
efektif, maka akan timbul beberapa kelemahan antara lain:
1)
Akan membangkitkan suasana rusuh,
takut, dan kurang percaya diri.
2)
Murid akan selalu merasa sempit
hati, bersifat pemalas, serta akan menyebabkan ia suka berdusta (karena takut
dihukum).
3)
Mengurangi keberanian anak untuk
bertindak.
Ahmad Tafsir menyebutkan, bahwa kedua metode di atas (ganjaran dan
hukuman) merupakan metode yang sebenarnya tidak lebih baik dari targhib dan
tarhib. Perbedaan utama antara tsawab dan ‘iqab dengan targhib dan tarhib
adalah bahwa targhib dan tarhib bersandarkan ajaran Allah SWT, sementara tsawab
dan ‘iqab bersandarkan hukuman duniawi.
KESIMPULAN
Karena pengajaran merupakan aktivitas
kependidikan, maka pendidik atau guru harus memberikan yang terbaik untuk
memotivasi setiap anak didiknya dengan memilih metode yang berguna. Di samping
itu pendidik boleh saja mempergunakan ganjaran dan hukuman sebagai
kekuatan-kekuatan yang memberi motivasi. Fitrah manusia yang baik masyarakat
lebih utamanya ganjaran ketimbang hukuman. Kedudukan pendidik Muslim yang
tinggi ini menjadikan ganjaran lebih menarik perhatian. Ketika hukuman itu
dilakukan dalam kesempatan-kesempatan, kiranya harus dihubungkan dengan
tujuan-tujuan pendidikan. Adanya asas hukuman jasmani tidak diletakkan sebagai
alasan untuk mempergunakan metode hukuman badaniah dengan tanpa pandang bulu.
Nabi SAW bersabda, “Allah cinta kepada orang-orang yang berbuat baik dan lemah
lembut dalam segala hal.” Maka tidak diragukan lagi, bahwa pendidikan merupakan
salah satu hal yang cinta akan kebajikan dan kelembutan.
Oleh karena itu setiap pendidik
hendaknya memperhatikan beberapa syarat dalam pemberian hukuman, yaitu
mengandung makna edukasi, harus tetap dalam jalinan cinta kasih, dan sayang
harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan bagi anak didik, diikutkan dengan
pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan kepada anak didik.
[1] Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1995
[2] Ali, Atabik, dan
Ahmad Zuhbi Muhdhar. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta:
Pondok Pesantren Krapyak. 1996. Hal. 30
[3] Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam,
Kajian Filosofik, dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung: Trugenda
Karya, 1993, Cet. I
[4] Mursi, M. Said, Melahirkan
Anak, Masya Allah: Sebuah Terobosan Baru Dunia Pendidikan Modern, Jakarta:
Cendekia Sentra, 2001, (Terj.) Fan Tarbiyah al-Awlad fil Islam hal. 27
[5] Arif, Armai, Pengantar
Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), Cet. I
[6] Mursi, M. Said, Melahirkan
Anak, Masya Allah: Sebuah Terobosan Baru Dunia Pendidikan Modern, Jakarta:
Cendekia Sentra, 2001, (Terj.) Fan Tarbiyah al-Awlad fil Islam
[7] Abdullah, Abdurrahman
Shaleh. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al Qur’an (Terj. H. M. Arifin dan
Zainuddin). Jakarta: PT Rineka Cipta. 1994. Cet II
[8] Abdullah, Abdurrahman
Shaleh. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al Qur’an (Terj. H. M. Arifin dan
Zainuddin). Jakarta: PT Rineka Cipta. 1994. Cet II
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Amir, Najib Khalid
al-, Min Assaalibir Rasul SAW fit Tarbiyah, Terj. Ibnu Muhammad, Tarbiyah
Rasulullah SAW), Jakarta: Gema Insani Press, 1994, Cet. I
0 komentar:
Posting Komentar