TRADISI
SEDEKAH BUMI “MANGANAN” DARI PRESPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL DAN FUNGSIONALISME
STRUKTURAL
DI DUKUH
SITIMULYO DESA KEDUNGSARI KECAMATAN TEMAYANG KABUPATEN BOJONEGORO
(Pengalaman
Penelitian dan Pendampingan Dengan
Metodologi
Participatory Action Research-PAR)
Oleh:
Kelompok KKN 36[1]
[1] Anggota Tim
KKN Desa Kedungsari: Fakultas Adab dan Humaniora: Agoeng Moedi Antoro, Fajar
Aulia Wigayanti, Luluk Fitriani. Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi: Imam
Subawi, Isnaini Mauludiyah, Muhammad Agus Setiawan, Sri Zulfa Muyasaroh, Uzlifatul
Wafiroh. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan: Chamidatun Ni’mah, Dita Nuraini,
Khusnaini Mufarrokhah, M. Ali Aziz, Nur Qomariyah. Fakultas Syariah dan Ekonomi
Islam: Ajeng Irna Baroroh, Febri Rubiyanto, Nur Muzilatul Bathilah, Sohibur Rohman.
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam: Nasrudin, Reni Kusuma Wardani.
Sedekah bumi adalah suatu tradisi yang masih
dipegang teguh oleh warga Desa Kedungsari. Tradisi sedekah bumi sendiri
mempunyai arti khusus bagi masyarakat setempat. Mereka beranggapan bahwa sedekah
bumi adalah bukti syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rezeki
kepada warga sehingga panen yang ditunggu-tunggu selama satu tahun dapat
membuahkan hasil. Sedekah bumi ini dilaksanakan di beberapa tempat yang
dianggap istimewa oleh warga. Keistimewaan itu dilatarbelakangi oleh sejarah
masa lalu yang masih begitu melekat di benak masyarakat. Meskipun terdapat
perubahan sosial dalam masyarakat, kepercayaan terhadap ajaran nenek moyang itu
masih tetap dipegang teguh. Upaya-upaya sistematis pun dilakukan agar tidak
terjadi keanarkisan dalam proses perubahan sosial dalam tradisi sedekah bumi
ini. Comte menyatakan bahwa masyarakat harus membangun keteraturan sosial dan
solidaritas dalam masyarakat sehingga tidak terjadi aksi anarkis saat perubahan
sosial itu terjadi. Karena perubahan sosial merupakan hal wajar yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat, maka seyogyanya masyarakat pun harus menerima dan
menjadikannya sebagai pelajaran untuk menuju kemajuan dalam kehidupan masyarakat.
Tradisi pun bisa menjadi ajang perubahan sosial sehingga dibutuhkan adanya
keteraturan sosial dan solidaritas masyarakat yang berdasarkan pada nilai-nilai
yang sama. Durkheim dan Malinowski dalam Teori Fungsionalisme Strukturalnya
mengasumsikan adanya hubungan agama dan fungsinya yang diaplikasikan melalui
ritual. Mereka yang terlibat dalam sebuah ritual bisa melihat dan merasakan
bahwa agama merupakan sarana untuk meningkatkan hubungan spiritualnya dengan
Tuhan. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek
ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang
kemudian dapat memperkuat fungsi solidaritas. Melalui nilai-nilai agama yang
terkandung dalam kehidupan masyarakat, diharapkan masyarakat dapat memiliki
satu visi yang sama agar tercipta kemajuan dalam kehidupan masyarakat. Selain
itu, pandangan-pandangan masyarakat dari semua sisi harus ditampung dan
disatukan agar tidak terjadi gesekan-gesekan dalam kehidupan masyarakat yang dapat
menyebabkan konflik berkepanjangan di antara masyarakat itu sendiri.
Kata Kunci: Perubahan
Sosial, Sedekah Bumi, Teori Evolusi, Fungsionalisme Struktural
A.
Pendahuluan
Panen
merupakan suatu hal yang menggembirakan bagi petani, terlebih ketika hasil yang
dituai memuaskan. Beragam cara ditempuh petani untuk mengungkapkan rasa
syukurnya atas anugerah Tuhan yang telah diberikan kepadanya. Salah satu wujud rasa syukur tersebut
terlihat di Desa Kedungsari Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro. Warga Desa
Kedungsari yang umumnya petani merayakan panen mereka dengan kegitan sedekah
bumi.
Sedekah bumi
adalah semacam upacara atau jenis kegiatan yang intinya untuk mengingat kepada
Sang Pencipta Allah SWT yang telah memberikan rahmatNya kepada manusia di muka
bumi ini khususnya kepada keluarga petani yang hidupnya bertopang pada hasil
bumi di pedesaan atau pinggiran kota yang masyarakatnya bertani[1].
Sedekah bumi ini merupakan
salah satu tradisi kental yang masih dipegang teguh oleh warga Desa Kedungsari
Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro. Tradisi ini merupakan tradisi turun
temurun yang melekat erat dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut disebabkan
karena Desa Kedungsari merupakan bagian dari desa yang mayoritas mata pencahariannya
berasal dari segi agraris. Walaupun tidak semua warga memiliki sawah, mereka
tetap menjadi buruh di sawah-sawah para tuan tanah.
Tradisi sedekah
bumi sendiri mempunyai arti khusus bagi masyarakat. Mereka beranggapan
bahwa sedekah bumi adalah bukti syukur kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rezeki bagi warga sehingga panen yang ditunggu-tunggu selama satu
tahun dapat membuahkan hasil. Meskipun tidak semua warga bisa menikmati hasil
panen, tradisi ini tetap berlaku bagi warga yang bermukim di Desa Kedungsari
tersebut tanpa terkecuali.
Sedekah bumi ini dilaksanakan
di beberapa tempat yang dianggap istimewa oleh warga. Keistimewaan itu
dilatarbelakangi oleh sejarah masa lalu yang masih begitu melekat di benak
masyarakat. Meskipun terdapat perubahan sosial dalam masyarakat, kepercayaan
terhadap ajaran nenek moyang itu masih tetap dipegang teguh. Agama Islam
sebagai agama yang dianut oleh seluruh warga Desa Kedungsari pun masih kurang
dijalankan syari’atnya. Hal tersebut dapat dilihat dari prosesi sedekah bumi
yang masih kental dengan ajaran Dinamisme. Selain itu, beberapa masalah
internal pun mulai muncul akibat adanya tradisi sedekah bumi ini.
Auguste Comte
yang merupakan pendukung teori evolusi dalam perubahan sosial memberikan
pengakuan bahwa perubahan sosial itu normal. Bapak sosiologi ini berpendapat
bahwa evolusi atau perkembangan masyarakat dikuasai oleh suatu hukum universal
yang berlaku bagi semua orang. Cara manusia berfikir dan memandang dunia
berkembang secara bertahap-tahap dan keadaan masyarakat akan selalu sesuai dan
serupa dengan tahapan yang sedang dijalaninya[2].
Tahap pertama adalah tingkat teologis atau khayalan[3].
Dalam hal ini masyarakat masih berfikir bahwa semua fenomena diciptakan oleh
zat adikodrati.
Menurut
paradigma Fungsionalisme Struktural dari Durkheim dan Malinowski, masyarakat
dianalogikan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian yang
saling berhubungan dan tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Oleh
karena itu jika ada perubahan dalam bagian dari sistem tersebut maka akan
menyebabkan perubahan yang lain. Semua bagian dalam sebuah sistem akan bekerja
sesuai dengan fungsinya masing-masing untuk mencapai sebuah keseimbangan atau
untuk meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem itu sendiri. Jadi, jika salah
satu bagian dalam sistem tidak dapat bekerja sesuai dengan fungsinya maka akan
mengganggu fungsi dari bagian yang lain yang berimbas pada tingkat keseimbangan
sistem.
Tulisan
singkat ini akan menjelaskan gambaran kondisi masyarakat Desa Kedungsari,
Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro, khususnya Dukuh Sitimulyo yang sangat
mempercayai dan mengagungkan tradisi sedekah bumi melalui teori yang
dikemukakan oleh Auguste Comte dan teori dari Durkheim dan Malinowski. Dengan
harapan akan dapat dipaparkan fenomena yang terjadi dalam masyarakat Desa
Kedungsari dan cara apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir adanya
kepercayaan yang berlebihan dari masyarakat terhadap tradisi tersebut. Meskipun
pada akhirnya hal tersebut harus diselesaikan oleh masyarakat Desa Kedungsari
sendiri.
B.
Perubahan
Sosial Ditinjau Dari Teori Evolusi
Teori evolusi
sosial dan kebudayaan mempunyai empat anggapan dasar yaitu: (1) umat manusia
adalah bagian dari pada alam, dan bekerja sesuai dengan hukum alam pula, (2) hukum
alam itu yang menguasai perkembangan, tidak mengalami perubahan sepanjang zaman,
(3) proses alamiah itu bergerak secara
progresif dari yang sederhana menuju ke arah yang lebih kompleks, dari yang
tidak terorganisir menuju kepada yang diorganisasikan secara lengkap, (4)
manusia di seluruh dunia mempunyai potensi yang sama akan tetapi berbeda secara
fundamental dalam perkembangan kuantitatif mengenai intelegensi dan
pengalamannya[4].
Dalam hal ini, perkembangan evolusi bergerak dalam setiap aspek kehidupan
masyarakat dan kebudayaan.
Auguste Comte,
salah satu pendukung teori evolusi ini pun membagi perkembangan pemikiran
manusia dalam tiga tahap. Dia menyebutkan bahwa masyarakat diarahkan oleh
nilai-nilai yang dialami (supernatural) sebagai wujud dari tahapan pertama.
Tahapan kedua adalah tingkat metafisika atau abstrak dimana modifikasi dari
tahap pertama yang menyebutkan bahwa fikiran merupakan ciptaan kekuatan
abstrak, sesuatu yang benar-benar dianggap ada, yang melekat di dalam diri
seluruh manusia dan mampu menciptakan semua fenomena. Tahap ketiga adalah
tingkat ilmiah atau positif; fikiran manusia tidak lagi mencari ide-ide
absolut, yang asli dan yang mentakdirkan alam semesta, dan yang menjadi
penyebab fenomena, tetapi mencari hukum-hukum yang menentukan fenomena.
Dalam bukunya yang berjudul The Course of
Positive Philosophy, Comte menganalisa dasar-dasar filosofi dari semua
ilmu, tetapi perhatian utamanya tetap tertuju kepada dinamika kemajuan sosial. Dia
memilik tujuan menyeluruh untuk menjelaskan setepat mungkin gejala perkembangan
yang besar dari umat manusia, dengan semua aspeknya yang penting.
Evolusi
perkembangan dalam tiga tahap ini bukan hanya milik Comte. Saint Simon dan
Jacques Turgot juga merupakan pencetus gagasan serupa mengenai perkembangan
sejarah primitif sampai bentuk-bentuk pemikiran ilmiah modern. Ketika manusia
melihat suatu fenomena dari segi teologi, segala sesuatu mungkin akan
dihubungkan dengan dewa atau tuhan yang agung, bahkan mahluk ghaib. Tahap
metafisik lebih ditekankan kepada manifestasi dari suatu hukum alam yang tidak
dapat diubah. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hokum-hukum alam
yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi[5].
Lain halnya dengan tahap positif yang telah mencapai pemikiran bahwa kepercayaan
terhadap data empiris merupakan sumber pengetahuan terakhir.
Perubahan dari
satu tahap ke tahap berikutnya tidak pernah terjadi secara tiba-tiba. Untuk
menjaga agar tatanan sosial tidak goyah akibat perubahan tersebut, Comte
beranggapan bahwa dalam masyarakat perlu adanya keteraturan sosial. Dalam tahap
perubahan, batas-batas yang diberikan oleh hukum-hukum dasar harus diperhatikan
agar tidak terjadi transisi anarkis di dalamnya.
Dengan
demikian, selain tiga tahap yang dicetuskan oleh Comte dapat menerangkan proses
perubahan sosial dalam masyarakat dan dapat juga menyediakan penjelasan
mengenai tahap evolusi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Gagasan yang
dilontarkan oleh Comte ini sebenarnya untuk memahami proses terjadinya
perubahan sosial dalam masyarakat sehingga transisi anarkis tidak terjadi.
Comte menerapkan
prinsip-prinsip keteraturan sosial sehingga proses perubahan sosial bisa
berjalan dengan baik. Keteraturan sosial berjalan melalui dua fase. Pertama,
usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan
metode positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai
suatu cita-cita yang normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak
sesuai dengan positivisme, tetapi yang menyangkut perasaan dan juga intelek[6].
Dalam hal ini,
Comte juga menerangkan tentang pentingnya konsensus intelektual. Uuntuk
mewujudkan solidaritas dalam masyarakat, konsensus terhadap
kepercayaan-kepercayaan serta pandangan-pandangan dasar merupakan hal yang
paling utama. Agama merupakan sumber utama dalam solidaritas sosial dan konsensus
karena masyarakat paling lama hidup dalam tahap teologi. Melalui agama, keterikatan
emosional antar masyarakat dapat terwujud. Tiap individu yang memilik
kepercayaan yang sama akan lebih mudah untuk dipersatukan dalam keteraturan
sosial.
Dalam teori
kemajuan, Comte mengambil model kemajuan linear (garis bujur) yang menuju ke
satu tujuan akhir. Dia mengusulkan suatu model linear yang berkulminasi pada
munculnya masyarakat positivis. Berbeda dengan Sorokin yang meyakini
tahap-tahap sejarah cenderung berulang dalam kaitannya dengan mentalitas budaya
yang dominan, tanpa membayangkan suatu tahap akhir yang final[7].
Meskipun keduanya memusatkan perhatian kepada tingkat analisis budaya, keduanya
tetap mempunyai perbedaan dalam memandang tahap akhir yang akan dilalui oleh
masyarakat dalam perubahan sosial tersebut.
Uraian di atas menegaskan gagasan Comte
tentang arti penting menerapkan prinsip-prinsip keteraturan sosial untuk
menciptakan stabilitas sosial dalam masyarakat. Artinya, sangat penting kiranya
bagi masyarakat untuk meneguhkan konsensus intelektual dan mewujudkan
solidaritas yang berlandaskan agama dan pandangan-pandangan dasar. Hal tersebut
menurut Comte dianggap mempunyai pengaruh paling besar dalam menciptakan
solidaritas dalam melalui tahap-tahap dalam perubahan sosial.
Demikianlah
pemaparan Comte yang telah memperkenalkan perubahan sosial ditinjau dari teori
evolusi. Comte berargumen bahwa keteraturan sosial harus tercipta agar
keanarkisan dalam tahap perubahan tidak terjadi. Meskipun demikian, keteraturan
sosial itu tidak akan dengan mudah terwujud. Peran serta masyarakat dalam
menciptakan solidaritas dan kesadaran intelektual pun harus senantiasa terpupuk
untuk mewujudkan perubahan sosial dalam masyarakat menuju ke arah yang lebih
baik.
C.
Sedekah Bumi
Menurut Paradigma Fungsionalisme Struktural
Paradigma fungsionalisme struktural
merupakan salah satu paradigma yang di pakai untuk mengkaji berbagai masalah
sosial dari kacamata sosiologi. Menurut paradigma fungsinalisme struktural,
agama merupakan suatu lembaga sosial yang berfungsi untuk menjawab kebutuhan
mendasar dari masyarakat yang terkadang tidak dapat diperoleh melalui pemahaman
sacara duniawi. Agama merupakan salah satu bentuk tingkah laku masyarakat yang
dilembagakan. Agama juga dianggap sebagai penyebab sosial (social causation)
yang dominan dalam terbentuknya lapisan sosial dalam tubuh masyarakat. Dalam
hal ini masyarakat memiliki perasaan yang sanggup mengumpulkan mereka dalam
suatu wadah, yang kemudian oleh Durkheim, agama dilihat sebagai sarana atau
alat pemerkuat solidaritas sosial yang dapat terlihat melalui kegiatan
keagamaan dan pengabdian terhadap Tuhan.
Paradigma fungsionalisme juga melihat
agama sebagai suatu bentuk kebudayaan yang istimewa yang mampu meresapi setiap
tingkah laku penganutnya. Malinowski dalam teori fungsionalismenya
mengasumsikan adanya hubungan agama dan fungsinya yang diaplikasikan
melalui ritual. Secara garis besar, fungsi dasar agama diarahkan kepada sesuatu
yang supernatural atau, dalam bahasa Rudolf Otto, “Powerful Other.”
Mereka yang terlibat dalam sebuah ritual bisa melihat dan merasakan bahwa
agama merupakan sarana untuk meningkatkan hubungan spiritualnya dengan Tuhan.
Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual
secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang kemudian
dapat memperkuat fungsi solidaritas.
Tradisi upacara sedekah bumi merupakan
salah satu contoh konkrit dari aplikasi fungsi solidaritas sebuah ritual
(agama). Tradisi ini bertujuan agar kita selalu bersyukur atas segala nikmat
yang telah diberikan oleh Tuhan. Jika dilihat, tradisi ini kurang rasional
apabila memakai objek kuburan sebagai tempat untuk melakukan syukuran atas
razeki yang diperoleh melalui hasil panen atau usaha yang lainnya. Namun, jika
kita menggunakan pendekatan paradigma fungsionalisme struktural untuk
menganalisisnya maka kita akan menyadari bahwa setiap hal yang sepertinya
kurang masuk akal ternyata memiliki fungsi. Demikian pula apabila pelaksanaan
upacara sedekah bumi dilakukan di kuburan. Hal tersebut mengandung fungsi
pengingat untuk semua warga desa agar ketika mendapatkan
nikmat atau berkah dari Tuhan mereka tidak lantas menjadi sombong atau
bahkan lupa bersyukur kepada Tuhan, mengingat bahwa semua itu tidaklah abadi
karena nantinya semua manusia akan meninggal juga seperti mereka yang
telah meninggal mendahului yang masih hidup menghadap Tuhan.
Seperti yang telah dikemukakan oleh
Durkheim bahwa adanya agama atau praktek ritual memiliki fungsi integrasi,
peningkatan solidaritas bahkan membentuk masyarakat. Jika dikaitkan dengan
tradisi sedekah bumi maka melalui tradisi tahunan ini telah mampu mengundang
atau mengumpulkan satu masyarakat desa menjadi satu tanpa melihat status
sosialnya dan dengan banyaknya masyarakat yang mengikuti tradisi ini maka
solidaritas diantara mereka sebagai kesatuan kelompok atau komunitas semakin
terjaga. Keseimbangan sosial pun juga dapat tercipta setidaknya dari situasi
rukun yang terjalin oleh partisipan tradisi tersebut.
D.
Sejarah dan
Perkembangan Sedekah Bumi (Budaya sebagai Kepercayaan Dasar)
Istilah Sedekah
Bumi berasal dari bahasa Jawa Sedekah Desa. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
(1994a: 888) sedekah bumi adalah pemberian kepada bumi. Makna kata Sedekah
berarti pemberian sukarela yang tidak ditentukan peraturan-peraturan tertentu.
Sedekah Bumi berarti pula sedekah (sodaqoh)[8].
Sedekah bumi atau bersih desa adalah suatu ritual budaya peninggalan nenek
moyang sejak ratusan tahun lalu. Dahulu pada masa Hindu ritual tersebut
dinamakan sesaji bumi/ laut. Pada masa Islam, terutama masa Wali songo (500
tahun yang lalu) ritual budaya sesaji bumi tersebut tidak dihilangkan, malahan
dipakai sebagai sarana untuk melestarikan /mensyiarkan ajaran Allah yaitu
ajaran tentang Iman dan Takwa atau didalam bahasa jawa diistilahkan eling lan
waspodo yang artinya tidak mempersekutukan Allah dan selalu tunduk dan patuh
mengerjakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Untuk mensyiarkan dan
melestarikan ajaran Iman dan Takwa, maka para Wali menumpang ritual budaya
sesaji bumi/laut yang dulunya untuk alam diubah namanya menjadi sedekah bumi
yang diberikan kepada manusia khususnya anak yatim dan fakir miskin tanpa
membedakan suku, agama, ras, atau golongan. [9]
Sebenarnya
ritual upacara sedekah bumi sudah lama dikenal bangsa indonesia jauh sebelum
mencapai kemerdekaan dengan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebelum agama islam masuk ke tanah air, waktu itu belum muncul nama Indonesia,
sebagian penduduk berpegang pada kepercayaan lama, yang dalam istilah ilmu
agama (science of religion) disebut animisme, dinamisme, fetisisme, dan
politheisme. Sebagian yang lain memeluk agama Hindu dan Buddha. Mereka
mempercayai adanya kekuatan supernatural yang mengusai alam semesta, berupa
dewa-dewa. Upacara-upacara yang dimaksudkan untuk memuja dewa laut dan dewa
bumi dibiarkannya tetap berjalan, meski sebagian penduduk itu sudah memeluk
agama Islam. Hanya saja, mantra-mantranya diganti dengan doa-doa secara islam,
dan nama upacara disesuaikan dengana ajaran islam, yaitu dengan istilah sedekah
laut dan sedekah bumi. Perubahan yang menyangkut aspek teologis dilakukan
secara bertahap, sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial. Ini merupakan salah
satu metode dakwah mubaligh pada masa awal kedatangan Islam di tanah air Indonesia.
Kedatangan
agama Islam ke nusantara dibawa oleh para mubaligh yang dalam menyiarkan
agamanya menggunakan metode persuasif. Mereka tidak secara drastis mengadakan
perubahan terhadap kepercayaan dan adat istiadat lama, melainkan sampai
batas-batas tertentu, memberikan toleransi, membiarkannya tetap berlangsung
dengan mengadakan modifikasi-modifikasi seperlunya. Diantaranya ada dewa yang
mengusai lautan (varuna), dan menguasai bumi (pertiwi). Sebagai ungkapan rasa
syukur dan pemujaan kepada dewa-dewa tersebut, mereka mengadakan
upacara-upacara (ritual), dengan membaca mantra-mantra dan mempersembahkan
sesaji. Tujuannya agar para dewa memelihara keselamatan penduduk, menjauhkan
mereka dari malapetaka, dan melimpahkan kesejahteraan, berupa meningkatnya
jumlah ikan di laut dan hasil pertanian di darat.
Pada
masyarakat Jawa, memang terkenal dengan beragam jenis tradisi budaya yang di
ada di dalamnya. Baik tradisi kultural yang bersifat harian, bulanan hingga
yang bersifat tahunan, semuanya ada dalam tradisi budaya Jawa tanpa terkecuali.
Dari beragam macamnya tradisi yang ada di masyarakat Jawa, hingga sangat sulit
untuk mendeteksi serta menjelaskan secara rinci terkait dengan jumlah tradisi
kebudayaan yang ada dalam masyarakat Jawa tersebut. Salah satu tradisi
masyarakat Jawa yang hingga sampai sekarang masih tetap eksis dilaksanakan dan
sudah mendarah daging serta menjadi rutinitas bagi masyarakat Jawa pada setiap
tahunnya adalah sedekah bumi.
Tradisi
sedekah bumi ini, merupakan salah satu bentuk ritual tradisional masyarakat di
pulau Jawa yang sudah berlangsung secara turun-temurun dari nenek moyang orang
jawa terdahulu. Ritual sedekah bumi ini biasanya dilakukan oleh mereka pada
masyarakat Jawa yang berprofesi sebagai petani dan nelayan yang menggantungkan
kehidupan keluarga dan sanak famili mereka dari mengais rizki memanfaatkan
kekayaan alam yang ada di bumi. Bagi masyarakat Jawa khususnya para kaum petani
dan para nelayan, tradisi ritual tahunan semacam sedekah bumi bukan hanya
merupakan sebagai rutinitas atau ritual yang sifatnya tahunan belaka. Akan
tetapi tradisi sedekah bumi mempunyai makna yang lebih dari itu, upacara
tradisional sedekah bumi itu sudah menjadi salah satu bagian yang sudah menyatu
dengan masyarakat yang tidak akan mampu untuk dipisahkan dari kultur (budaya)
jawa yang menyiratkan simbol penjagaan terhadap kelestarian serta kearifan
lokal (Local Wisdem) khas bagi masyarakat agraris maupun masyarakat nelayan
khususnya yang ada di pulau Jawa.
Pada
acara upacara tradisi sedekah bumi biasanya seluruh masyarakat sekitar membuat
tumpeng dan berkumpul menjadi satu di tempat sesepuh kampung, di balai desa
atau tempat-tempat yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat setempat untuk
menggelar acara ritual sedekah bumi tersebut. Setelah itu, kemudian masyarakat
membawa tumpeng tersebut ke balai desa atau tempat-tempat untuk dido’akan oleh
tetua adat. Usai dido’akan oleh sesepuh atau tetua adat, kemudian kembali
diserahkan kepada masyarakat setempat yang membuatnya sendiri. Nasi tumpeng
yang sudah didoakan oleh sesepuh kampung atau tetua adat setempat kemudian di
makan secara ramai-ramai oleh masyarakat yang merayakan acara sedekah bumi itu.
Namun, ada juga sebagian masyarakat yang membawa pulang nasi tumpeng tersebut
untuk dimakan beserta sanak keluarganya di rumah masing-masing.
Menurut
adat istiadat dalam tradisi budaya ini, diantara makanan yang menjadi makanan
pokok yang harus ada dalam tradisi ritual sedekah bumi adalah nasi tumpeng dan
ayam panggang. Sedangkan yang lainnya seperti minuman, buah-buahan dan
lauk-pauk hanya bersifat tambahan saja, tidak menjadi perioritas yang utama.
Dan pada acara akhir, nantinya para petani biasanya menyisakan nasi, kepala dan
ceker ayam, ketiganya dibungkus dan diletakkan di sudut-sudut petak sawahnya
masing-masing.
Dalam
puncak acara ritual sedekah bumi diakhiri dengan melantunkan do’a bersama-sama
oleh masyarakat setempat dengan dipimpin oleh tetua adat. Do’a dalam sedekah
bumi tersebut umumnya dipimpin oleh tetua adat atau sesepuh kampung yang sudah
sering dan terbiasa memimpin jalannya ritual tersebut. Ada yang sangat menarik
dalam lantunan do’a pada ritual tersebut. Yang menarik dalam lantunan doa
tersebut adalah kolaborasi antara lantunan kalimat-kalimat Jawa dan yang
dipadukan dengan khazanah-khazanah do’a yang bernuansa Islami.
Ritual
sedekah bumi yang sudah menjadi rutinitas bagi masyarakat Jawa ini merupakan
salah satu jalan dan sebagai simbol penghormatan manusia terhadap tanah yang
menjadi sumber kehidupan. Menurut cerita dari para nenek moyang orang jawa
terdahulu, Tanah itu merupakan pahlawan yang sangat besar bagi kehidupan
manusia di muka bumi. Maka dari itu tanah harus diberi penghargaan yang layak
dan besar. Dan ritual sedekah bumi inilah yang menurut mereka sebagai salah
satu simbol yang paling dominan bagi masyarakat jawa khususnya para petani dan
para nelayan untuk menunjukan rasa cinta kasih sayang dan sebagai penghargaan
manusia atas bumi yang telah memberi kehidupan bagi manusia. Sehingga dengan
begitu maka tanah yang dipijak tidak akan pernah marah seperti tanah longsor
dan banjir dan bisa bersahabat bersandingan dengan masyarakat yang
menempatinya.
Selain
itu, Sedekah bumi dalam tradisi masyarakat jawa juga merupakan salah satu
bentuk untuk menuangkan serta mencurahkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas nikmat dan berkah yang telah diberikannya. Sehingga seluruh masyarakat
jawa bisa menikmatinya. Sedekah bumi pada umumnya dilakukan sesaat setelah
masyarakat yang mayoritas masyarakat agraris menuai panen raya. Sebab tradisi
sedekah bumi hanya berlaku bagi mereka yang kebanyakan masyarakat agraris dan
dalam memenuhi kebutuhannya dengan bercocok tanam. Sedikit
berbeda dengan daerah lain yang melakukan sedekah bumi di kuburan atau
di bawah pohon besar, di Dukuh Sitimulyo Desa Kedungsari, tradisi sedekah
bumi ini dilaksanakan di tiga tempat yang berbeda, yaitu di sebuah sumur
tua, di balai desa, dan di musholla.
1.
Sedekah bumi di Sumur Tua
Di desa
Kedungsari, tepatnya di dukuh Sitimulyo terdapat sebuah sumur yang dikeramatkan
oleh warga. Oleh karena itu, warga
Sitimulyo setiap tahunnya mengadakan sedekah bumi yang ditempatkan di
sekitar sumur tua tersebut. Sukuran bersama atau kirim do’a, menyedekahi bumi
pertiwi yang telah menghasilkan tanamana, merupakan beberapa definisi dari
istilah sedekah bumi ini. Tradisi ini sudah ada sejak dahulu kala dan
masih dilestarikan di beberapa tempat. Seperti di dukuh Sitimulyo ini, tradisi sedekah
bumi yang dilakukan di sumur tua pun tak luput dari kegiatan yang masih
berbau ajaran dinamisme.
Prosesi dalam
kegiatan sedekah bumi di sumur tua ini pun cukup unik. Dimulai dengan
warga yang berbondong-bondong membawa ambeng mengitari bibir sumur. Kemudian
mereka secara bersama-sama berjalan mengelilingi sumur tersebut. Setelah itu,
ambeng yang dibawa oleh warga saling ditukarkan untuk selanjutnya dimakan
bersama-sama di sekitar sumur tua tersebut. Nilai-nilai Islam pun sedikit
sekali terlihat dalam prosesi sedekah bumi di sumur tua ini. Hal itu
disebabkan oleh minimnya pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai agama.
Meskipun tradisi ini dihadiri oleh seorang tokoh agama yang disebut dengan panggilan
pak kiai oleh warga Sitimulyo, tradisi ini masih kental dengan ajaran Dinamisme
di dalamnya. Setelah sedekah bumi di sumur tua yang dihadiri oleh
beberapa warga ini usai, mereka akan melanjutkan tradisi sedekah bumi
ini di balai desa Kedungsari.
Tidak semua
warga Dukuh Sitimulyo mengikuti tradisi sedekah bumi di sumur tua ini.
Mereka merasa tradisi ini memiliki hasil yang positif karena dapat mempererat
hubungan antar warga. Namun terdapat efek negatif yang juga lahir dari tradisi
ini. Selain makan-makan bersama, warga juga mabuk-mabukan dan disamping itu
pada malam hari setelah acara sedekah bumi dilakukan, para warga yang biasanya
suka bermain togel pergi ke sumur tersebut dan berdiam diri semalam suntuk
untuk mendapatkan wangsit, sehingga nilai-nilai tradisi sedekah bumi ini
dicemari oleh unsur-unsur tidak bertanggung jawab tersebut. Selain itu aspek
agama pun diselewengkan dalam tradisi ini.
2. Sedekah bumi di Balai Desa
Lain halnya
dengan sedekah bumi di sumur tua, sedekah bumi di Balai Desa
adalah kegiatan yang dinilai lebih meriah. Satu minggu sebelum dilaksanakan
kegiatan sedekah bumi, Kepala Desa akan mengumumkan hari dan tanggal
tepatnya akan dilaksanakan kegiatan tersebut. Dalam hal ini, perangkat desa
adalah orang-orang yang bertanggung jawab dan mempunyai andil besar dalam
terlaksananya kegiatan tersebut.
Ketika sedekah
bumi di sumur terkesan sederhana dan apa adanya, kegiatan sedekah bumi
di balai desa pun terkesan mewah dan lebih ramai. Jika hanya segelintir orang
saja yang mengikuti sedekah bumi di sumur, di balai desa semua warga
desa Kedungsari diwajibkan untuk mengikutinya. Ambeng pun menjadi hidangan
wajib yang harus dibawa oleh setiap warga. Mulai dari warga desa, perangkat
desa, bahkan tamu undangan dari kecamatan dan kabupaten pun turut serta dalam
kegiatan ini.
Prosesinya pun
sedikit berbeda. Di sini lebih memperlihatkan adanya segi politik. Dimulai dari
para undangan yang datang, dan juga pemilihan acara yang terkesan ditangani
oleh sekelompok orang saja. Di balai desa ini, kegiatannya lebih bervariasi. Tidak
hanya mengadakan pengajian, terkadang juga diselingi dan diganti dengan acara
pagelaran wayang atau ledek. Semua warga pun membawa ambeng untuk ditukarkan
dan dimakan bersama-sama.
3. Sedekah bumi di Musholla
Tempat
terakhir yang dijadikan tempat untuk kegiatan sedekah bumi adalah
musholla. Di dukuh Sitimulyo sendiri terdapat dua buah musholla yang
dipergunakan warga untuk melakukan aktifitas keagamaan, musholla Al-Musthofa
yang terletak di RT 07 dan musholla At-Taqwa yang terletak di RT 06. Di
musholla tersebut terkadang diadakan kegiatan sedekah bumi.
Namun perlu
digaris bawahi bahwa sedekah bumi di musholla ini tidaklah menjadi
sebuah tradisi. Lebih jelasnya, sedekah bumi di musholla ini adalah
sebuah pilihan lain bagi warga untuk mau mengadakannya atau tidak. Jadi, ketika
warga ingin membawa ambeng ke musholla, maka tidak akan ada yang melarang.
Begitu juga saat warga tidak membawa ambeng ke musholla, maka tidak ada sangsi
sosial di dalamnya. Hal ini berbeda dengan sedekah bumi di dua tempat
tersebut di atas. Jika warga tidak membawa ambeng ke salah satu tempat di atas
(sumur tua dan balai desa), maka mereka harus siap untuk digunjing oleh warga
yang lain.
Tradisi sedekah
bumi ini dilaksanakan pada saat setelah panen padi pada bulan Juni atau
Juli pada hari Rabu Wage atau Rabu Pon. Tradisi sedekah bumi yang
mulanya hanya tradisi turun temurun dengan prosesi yang sederhana, kini pun
menjadi lebih terkesan mewah dan besar-besaran. Dulu tradisi ini hanya diisi
dengan acara tukar ambeng saja, namun saat ini acara keagamaan seperti tahlilan
dan pengajian juga diikutsertakan. Pada malamnya setelah acara sedekah bumi
di sumur tua, balai desa dan di musholla usai, juga terdapat beberapa acara
lain yang diadakan warga. Acaranya tidak selalu sama pada setiap tahunnya.
Terkadang warga mengadakan acara pengajian, pagelaran wayang, ledek, sinden,
maupun panggang ayam.
E.
Kisah Lain
Dibalik Tradisi Sedekah bumi di Sumur Tua
Seperti telah
dijelaskan di atas, di desa Kedungsari tradisi sedekah bumi mempunyai
makna tersendiri bagi warga. Terdapat beberapa versi yang menceritakan tentang
kekeramatan dari sumur tua yang dijadikan salah satu tempat mengadakan sedekah
bumi di Desa Kedungsari ini. Salah satu warga mengungkapkan bahwa awalnya
ada salah seorang warga yang bermimpi bahwa dia melihat banyak sekali hewan
kaki seribu yang keluar dari sumur tersebut. Dari penafsiran mimpi yang
dilakukan oleh warga Sitimulyo, mereka menyimpulkan bahwa hal tersebut
merupakan pertanda buruk bahwa desa mereka akan dikunjungi wabah penyakit.
Dengan adanya kejadian tersebut, maka warga memutuskan untuk menyelenggarakan
bancaan yang ditempatkan di sekitar sumur tersebut. Tradisi ini pun dimulai
sejak sebelum tahun 1980an. Tradisi ini akhirnya menjadi ajang turun temurun
yang rutin dilaksanakan guna mencegah terjadinya wabah penyakit di desa itu.
Cerita lain
mengungkapkan bahwa dahulu terdapat beberapa orang yang mandi di sumur
tersebut. Si penunggu sumur tua (mahluk ghaib) tersebut pun marah dan
mengganggu warga. Maka sejak saat itu, warga dukuh Sitimulyo pun mengadakan
bancaan rutin setiap satu tahun sekali di sekitar area sumur tua tersebut.
Terdapat pula
pantangan yang diberlakukan di sumur tua ini. Pantangan tersebut adalah
dilarangnya wanita yang haid (datang bulan) untuk pergi ke sumur tua ini.
Alkisah, dahulu kala terdapat seorang wanita yang sedang datang bulan (haid)
yang pergi untuk mengambil air di sumur tersebut. Ketika dia mengambil air,
darah haidnya pun menetes di sekitar bibir sumur tersebut. Secara tiba-tiba,
setelah dia pulang, dia pun menderita sakit aneh yang membuatnya tidak bisa
melakukan aktifitas seperti biasanya. Karena dahulu belum terdapat dokter,
orang tua wanita tersebut akhirnya membawa dia berobat di dukun. Sang dukun
mengatakan bahwa penyakit si wanita disebabkan oleh darah haid yang menets di
sumur tersebut. Akhirnya, si penunggu sumur tua (makhluk ghaib) tersebut marah
dan mengutus pasukan makhluk ghaib yang berada di sumur tua tersebut untuk
memberi pelajaran terhadap wanita yang meneteskan darahnya ke bibir sumur tua
tersebut dengan cara merasuki dan meninggalkan sesuatu di badan wanita tersebut
yang berentuk penyakit langka. Sejak saat itu, sumur tua tersebut dikeramatkan
oleh warga dan dipercayai sebagai tempat suci yang tidak semua orang boleh
seenaknya datang dan pergi ke tempat tersebut.
Kegiatan sedekah
bumi ini pun tidak luput dari pengaruh sesepuh-sesepuh desa yang ada sejak
dahulu. Bapak kepala RT 06 menyebutkan bahwa pencetus diselenggarakannya acara sedekah
bumi di sumur tua tersebut adalah seorang tokoh agama yang bernama mbah Yai
Marsim Alm. Mbah Yai Marsim adalah sesepuh desa yang pertama kali mengajarkan
orang-orang desa dan anak-anak di desa Kedungsari mengaji. Tidak pernah
diketahui alasan jelas adanya tradisi sedekah bumi di sumur tua di desa
Kedungsari ini, namun warga tetap percaya bahwa jika prosesi ini tidak
dilaksanakan, desa Kedungsari akan ditimpa wabah penyakit.
F.
Mengurai
Perubahan Sosial Dari Tradisi Sedekah bumi Bagi Masyarakat
Seiring
berjalannya waktu, suatu tradisi atau adat istiadat dari suatu daerah pasti
akan dipertanyakan esensinya. Dengan berkembangnya zaman dan kemajuan
intelektual dari masyarakat, tidak diragukan lagi adanya gesekan-gesekan
pendapat yang terjadi. Seperti halnya tradisi-tradisi lain, tradisi sedekah
bumi ini pun menghasilkan pro dan kontra di antara masyarakat sebagai
akibat dari perubahan sosial yang terjadi. Dalam teorinya, Comte menjelaskan
adanya tiga tahap dalam pemikiran manusia. Tahap-tahap itu tidak mungkin
dilampaui secara bersamaan oleh semua individu.
Ketika salah
satu warga sudah mulai menjajaki tingkat metafisik, dia akan berpikir lebih
logis tentang adanya tradisi tersebut. Lain halnya dengan para sesepuh yang
masih berkutat dalam tingkat teologi dengan lebih mempercayai kekuatan-kekuatan
supernatural. Perbedaan persepsi ini pun dapat menyebabkan konflik dalam
masyarakat.
Dalam tradisi sedekah
bumi ini, dalam ruang lingkup kecil, individu yang satu dengan individu yang
lain pun mempunyai pendapat yang berbeda. Warga RT 06 dan warga RT 07 yang
notabene memgang teguh tradisi sedekah bumi di sumur tua sebagai suatu
kewajiban berdalih bahwa hal tersebut merupakan tradisi turun temurun yang
harus dilestarikan. Mereka melihat tradisi ini dari segi kebudayaan dan adat
istiadat yang telah melekat sejak dahulu. Nilai-nilai tradisi jauh lebih
diutamakan demi kelangsungan hidup mereka yang masih percaya dengan aroma
mistis.
Berbeda halnya
dengan salah satu informan dari RT 05 yang taraf pendidikannya lebih tinggi.
Dia menganggap bahwa sedekah bumi di sumur tua itu adalah suatu
perbuatan musyrik yang harus dihilangkan dari adat istiadat sehingga tidak
mencemari nilai-nilai budaya dari tradisi sedekah bumi itu sendiri.
Selain dari
segi agama, tradisi sedekah bumi ini juga bersangkutan dengan masalah
ekonomi dalam masyarakat Desa kedungsari. Saat perubahan sosial terjadi, ambeng
yang dahulu hanya dibawa ala kadarnya, sekarang menjadi hal yang istimewa. Saat
ini, masyarakat tidak hanya membawa ambeng, namun harus disertai dengan jajan
pula. Untuk warga yang sudah mapan dalam segi ekonomi, mungkin hal itu tidak
menjadi masalah. Berbeda dengan masyarakat kecil yang untuk membeli beras saja
susah. Perubahan yang terjadi ini mau tidak mau akan lebih memberatkan beban
bagi warga.
Segi politik
pun semakin menampakkan auranya. Dalam tradisi ini, pihak penguasa lebih punya
kekuasaan dalam menetukan setiap kebijakan yang berhubungan dengan tradisi ini.
Sebagai contoh, saat pak lurah atau pak RT akan mengadakan pertunjukan wayang
saat sedekah bumi, warga Kedungsari diwajibkan untuk membayar iuran
sebanyak 50 ribu rupiah tiap KK. Hal ini bisa dikatakan sebagai kebijakan yang
otoriter. Seharusnya perubahan sosial tidak memberatkan masyarakat.
Prinsip-prinsip
keteraturan sosial dan konsesnsus intelektual yang diungkapkan Comte seharusnya
bisa menjadi alat untuk meminimalisir adanya gesekan saat terjadi perubahan
sosial di masyarakat. Peran penting kaum intelektual dalam menjelaskan fenomena
yang terjadi dalam tradisi sedekah bumi ini harus lebih ditekankan.
Selain itu, tokoh-tokoh agama harus lebih difungsikan agar masyarakat dengan
mudah menerima nilai-nilai baru yang ada. Solidaritas masyarakat dan
keterikatan emosional antar warga masyarakat juga menjadi hal terpenting untuk
mencegah adanya keanarkisan dalam perubahan itu.
Comte
menegaskan bahwa pentingnya gagasan menumbuhkan keteraturan sosial dan
solidaritas masyarakat. Artinya, masyarakat harus memiliki konsensus
intelektual dan menciptakan solidaritas di antara mereka. Hal ini dapat
dilakukan melaui penyatuan pandangan-pandangan dasar terhadap nilai-nilai
tradisi dan pemahanman bersama atas nilai-nilai agama yang menciptakan
kesadaran kritis terhadap adanya nilai-nilai budaya yang sama di Desa
Kedungsari ini. Comte berpandangan bahwa proses evolusi harus dibantu terus
oleh usaha manusia sehingga perkembangan positivisme yang mengakibatkan kemajuan
terus menerus itu pun menjadi suatu kepastian.
PENUTUP
Perubahan
sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Desa Kedungsari memang tidak
dapat terelakkan. Dengan adanya arus globalisasi dan kemajuan intelektual
masyarakat, tradisi sedekah bumi di sumur tua yang diagung-agungkan itu
pun semakin lama akan semakin mendapatkan pertentangan di antara anggota
masyarakat itu sendiri. Tradisi sedekah bumi yang kental dengan ajaran
Dinamisme, kini mulai sedikit bergeser dengan adanya perubahan sosial dalam
kehidupan masyarakat. Kemajuan intelektual dan adanya nilai-nilai keagamaan
yang mempengaruhi perubahan sosial pun menjadikan tradisi sedekah bumi
ini sedikit mengalami pertentangan. Pihak penguasa yang ikut serta memanfaatkan
adanya tradisi sedekah bumi ini semakin menguatkan eksistensinya.
Kebijakan-kebijakan yang diambil mengenai tradisi sedekah bumi ini pun terkadang
memberatkan masyarakat Kedungsari sendiri.
Oleh karena
itu, dibutuhkan upaya-upaya yang sistematis agar tidak terjadi keanarkisan
dalam proses perubahan sosial dalam tradisi sedekah bumi ini. Dalam
teori yang dikemukakan Comte bahwa masyarakat harus membangun keteraturan
sosial dan solidaritas dalam masyarakat sehingga tidak terjadi aksi anarkis
saat perubahan sosial itu terjadi. Karena perubahan sosial merupakan hal wajar
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, seyogyanya masyarakat pun harus menerima
dan menjadikannya sebagai pelajaran untuk menuju kemajuan dalam kehidupan
masyarakat. Tradisi pun bisa menjadi ajang perubahan sosial sehingga dibutuhkan
adanya keteraturan sosial dan solidaritas masyarakat yang berdasarkan pada
nilai-nilai yang sama. Durkheim dan Malinowski dalam teorinya pun menekankan
bahwa adanya agama atau praktek ritual memiliki fungsi integrasi, peningkatan
solidaritas bahkan membentuk masyarakat. Melalui nilai-nilai agama yang
terkandung dalam kehidupan masyarakat, diharapkan masyarakat dapat memiliki
satu visi yang sama agar tercipta kemajuan dalam kehidupan masyarakat. Tradisi
sedekah bumi yang merupakan tradisi tahunan ini pun mampu mengundang dan
mengumpulkan masyarakat desa menjadi satu tanpa melihat status sosial. Keseimbangan
sosial juga dapat tercipta setidaknya dari situasi rukun yang terjalin oleh
partisipan tradisi tersebut. Selain itu, pandangan-pandangan masyarakat dari
semua sisi harus ditampung dan disatukan agar tidak terjadi gesekan-gesekan
dalam kehidupan masyarakat yang dapat menyebabkan konflik berkepanjangan di
antara masyarakat itu sendiri. (wallahu a’lam)
[1] Puniatun, ‘Pelaksanaan Tradisi
Sedekah Bumi Sebagai Upaya Untuk Memelihara Kebudayaan Nasional’, Jurnal
Ilmiah PPKN Ikip Veteran Semarang, hal. 104
[2] Jacobus
Ranjabar. Perubahan Sosial Dalam Teori Makro, (Bandung: Alfabeta, 2008),
26
[3] Tingkat
pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia ini mempunyai jiwa dan itu
disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di atas manusia. Lihat: Jacobus
Ranjabar, Perubahan Sosial Dalam Teori Makro, (Bandung: Alfabeta, 2008),
27
[4] Jacobus
Ranjabar. Perubahan Sosial Dalam Teori Makro, (Bandung: Alfabeta, 2008),
23
[5] Doyle Paul
Johnson. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1994), 86
[6] Doyle Paul
Johnson. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1994). 89
[7] Ibid. 95
[8] Herliyan Bara
Wati. Pengaruh Dan Nilai-Nilai Pendidikan Upacara Sedekah Bumi Terhadap
Masyarakat Desa Bagung Sumberhadi Kecamatan Prembun Kabupaten Kebumen, Jurnal
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Muhammadiyah
Purworejo, Vol /0 2 / No. 04, hal. 16
0 komentar:
Posting Komentar